Urgensi Pembentukan Undang-Undang Mediasi

Sejumlah alasan melatari urgensi pembentukan UU Mediasi.

Oleh: Munafrizal Manan

Adagium terkenal dalam dunia hukum bahwa “hukum sering tertinggal di belakang perkembangan zaman” sungguh terkonfirmasi dalam praktik mediasi di Indonesia. Mediasi berkembang pesat di tingkat nasional dan internasional dalam dua dekade terakhir, namun daya dukung legislasi nasional belum lekas menyesuaikan diri.

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa belum pernah diubah dan belum masuk daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas). UU ini mengatur lebih banyak tentang arbitrase daripada mediasi, dan cenderung mengonstruksikan mediasi hanya sebagai bagian dari proses arbitrase. Padahal, mediasi merupakan salah satu jenis alternatif penyelesaian sengketa yang karakteristiknya berbeda dengan arbitrase.

Mahkamah Agung RI telah berinisiatif mengisi “kekosongan hukum” mediasi melalui Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 2 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan. Dasar rujukannya adalah Pasal 130 HIR (Herziene Indonesische Reglement) dan Pasal 154 RBg (Rechtsreglement Buitengewesten), yaitu Hukum Acara Perdata warisan hukum kolonial Belanda yang diterapkan untuk mediasi di dalam pengadilan (court-annexed mediation). Tujuannya, mendorong perdamaian (dading) para pihak yang bersengketa. Untuk mengakomodasi perkembangan praktik mediasi, Perma ini telah dua kali diubah dengan Perma Nomor 1 Tahun 2008 dan Perma Nomor 1 Tahun 2016.

Salah satu pertimbangan MA melembagakan dan mewajibkan proses mediasi ke dalam sistem peradilan untuk perkara perdata adalah mengurangi penumpukan perkara di pengadilan. Ikhtiar ini cukup membantu, meskipun tampaknya belum berjalan maksimal. Namun yang jelas, MA berjasa menggairahkan praktik mediasi di Indonesia.

Selain itu, Perma Nomor 1 Tahun 2016 mengukuhkan eksistensi mediasi di luar pengadilan. Adanya mekanisme pengajuan Kesepakatan Perdamaian untuk dikuatkan menjadi Akta Perdamaian oleh Pengadilan tingkat pertama, berkontribusi meningkatkan peran mediasi di luar pengadilan dalam sistem hukum Indonesia.

Namun, status dan lingkup Perma sifatnya hanya sebagai peraturan internal MA. Pengaturan mediasi yang lebih luas cakupan dan daya berlakunya harus dituangkan dalam undang-undang. Maka sudah saatnya dilakukan perubahan atas UU Nomor 30 Tahun 1999 atau lebih ideal membentuk UU khusus tentang Mediasi. Sejumlah negara telah memiliki undang-undang ini, misalnya Argentina (2010), Rusia (2011), China (2011), Kazakhstan (2011), Ukraina (2011), dan Moldova (2015).

Ada beberapa alasan urgensi pembentukan UU Mediasi. Pertama, ruang lingkup mediasi kini semakin luas, tidak lagi hanya sengketa perdata yang menyangkut hak ekonomi, sosial, dan budaya, tetapi juga merambah perkara pidana tertentu (mediasi penal) yang berkaitan dengan hak sipil dan politik. Ini telah dipraktikkan dalam sistem peradilan pidana anak melalui diversi yang berbasiskan prinsip keadilan restoratif (restorative justice).

Kepolisian Negara RI juga menerapkan mediasi penal berdasarkan Surat Edaran Kapolri Nomor: SE/8/VII/2018 tentang Penerapan Keadilan Restoratif dalam Penyelesaian Perkara Pidana, yang membolehkan penyelidik/penyidik berperan sebagai mediator. Kejaksaan Agung pun ikut menerapkannya melalui Peraturan Kejaksaan Agung Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif, yang memperkenankan penuntut umum menjadi fasilitator untuk mengupayakan perdamaian dalam perkara pidana terentu.

Kedua, bertambahnya lembaga komisi negara dan kementerian yang melaksanakan fungsi mediasi sesuai lingkup sengketa masing-masing, baik berdasarkan mandat undang-undang maupun peraturan di bawah undang-undang. Namun, basis regulasi semuanya bersifat sektoral. Saat ini sedikitnya ada 18 lembaga negara/kementerian yang memiliki fungsi mediasi.

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia RI (Komnas HAM), misalnya, telah 20 tahun melaksanakan fungsi mediasi HAM berdasarkan mandat UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM. Ada ribuan pengaduan dari pencari keadilan yang disampaikan ke Komnas HAM. Mediasi HAM bermanfaat untuk mengupayakan penyelesaian sengketa HAM. Komnas HAM merupakan lembaga alternatif penyelesaian sengketa HAM.

Ketiga, praktik mediasi oleh mediator memerlukan standar kompetensi, keahlian dan etik. Ini untuk memastikan mediasi dilaksanakan secara profesional dan berintegritas. Untuk praktik mediasi di dalam pengadilan, MA telah mewajibkan mediator (hakim dan non-hakim) memiliki Sertifikat Mediator dari MA atau lembaga yang terakreditasi MA. Di Komnas HAM, para staf yang membantu Komisioner menangani kasus-kasus mediasi telah memiliki Sertifikat Mediator terakreditasi MA.

Keempat, mediasi semakin berkembang dan dipilih sebagai resolusi sengketa yang efektif dan efisien di tengah problematika yang menggelayuti sistem litigasi dan sistem arbitrase. Mediator berkembang menjadi profesi yang diminati, baik di Indonesia maupun di banyak negara lain. Perkumpulan profesi mediator pun bermunculan. Maka profesi ini perlu diatur dalam UU sebagaimana profesi lainnya yang sudah diatur dengan UU.

Kelima, mediasi semakin mendapat perhatian internasional. Pada 20 Desember 2018, Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa mengadopsi Resolusi 73/198 tentang The United Nations Convention on International Settlement Agreements Resulting from Mediation. Kemudian pada 7 Agustus 2019 Konvensi ini ditandatangani di Singapura oleh 46 negara minus Indonesia. Termasuk sebagai penandatangan adalah beberapa negara anggota ASEAN dan G20. Konvensi PBB yang disebut The Singapore Convention on Mediation ini dimaksudkan agar hasil kesepakatan mediasi (settlement agreements) atas sengketa perdagangan/bisnis internasional memiliki kekuatan hukum mengikat lintas negara bagi negara yang telah menandatangani dan meratifikasinya.

Keenam, dalam masa pandemi Covid-19 bukan berarti sengketa antara para pihak berhenti terjadi. Sengketa akan selalu tetap ada. Bahkan, pandemi Covid-19 yang nyata-nyata memengaruhi banyak dimensi kehidupan manusia, juga potensial membawa efek samping merebaknya sengketa dalam hubungan sosial dan ekonomi. Maka sengketa itu membutuhkan upaya penyelesaian, salah satunya yaitu melalui mediasi.

Dalam konteks inilah penguatan peran mediasi dalam bentuk UU menemukan signifikansinya. Pengaturan yang dibutuhkan dalam UU antara lain perihal mediasi online. Pandemi Covid-19 juga berdampak pada keleluasaan praktik mediasi yang lazim dilakukan melalui tatap muka dan pertemuan bersama secara fisik. Mediasi online yang nirkontak fisik merupakan opsi realistis agar praktik mediasi dapat tetap berjalan tanpa khawatir tertular atau menularkan Covid-19 saat proses mediasi berlangsung.

Akhirnya, di tengah mulai menyusutnya pamor litigasi dan semakin meningkatnya tren non-litigas (mediasi) sebagai penyelesaian sengketa, Indonesia perlu segera mengatur praktik mediasi dan profesi mediasi dalam bentuk undang-undang agar terkonsolidasi dan terharmonisasi. Hukum Indonesia hendaknya tidak tertinggal lebih jauh dan lebih lama lagi dari perkembangan mediasi.

*)Munafrizal Manan adalah Wakil Ketua Komnas HAM RI; Komisioner Mediasi (November 2017-Juni 2020); Mediator Bersertifikat.

Artikel ini telah dimuat di hukumonline.com

Sumber : https://www.hukumonline.com/berita/a/urgensi-pembentukan-undang-undang-mediasi-lt5f50a3efad66e/